Kota Kecil yang Sombong, “Kamu ini Begok, Pinkan”

Story od Day– Kota kecil yang sombong dan saya Pinkan, seorang perempuan berprofesi sebagai jurnalis dalam lingkup perusahaan kecil. Kendati demikian, tempat saya bekerja menjunjung tinggi persoalan warga atas kebijakan publik. Seperti yang sekarang ini menjadi fokus utama liputan, saya merumuskan setidaknya masalah lingkungan di kota kecil yang sombong.

Terus terang saya pernah bertengkar dengan pemimpin redaksi tapi bukan di tempat saya bekerja, melainkan seorang teman yang terlalu cepat promosi lantaran medianya tidak menjunjung aspek peraturan dewan pers untuk mengharuskan redaktur atau pimpinan redaksi mesti memiliki kompetensi wartawan berjenjang.

Pertengkaran itu bermula dari postingan story aplikasi pesan singkat saya. Dia orangnya begitu, rada sok ingin terlihat cerdas sehingga orang itu langsung membalas isi story saya yang menjurus liputan ruang terbuka hijau publik bersarana olahraga.

“Ngapain ngabis-ngabisin tenaga untuk ngeliput ini, mending liputan mode transportasi umum di kota itu,” katanya.

“Hehe dalam hati saya, banyak bacot,” jawab saya.

Tapi betulnya ada. Namun tidak benar-benar betul balasannya terhadap story saya karena dia hidup di kabupaten yang memiliki ruang-ruang hijau, sedangkan di kota ini, kota kecil yang sombong ini, sulit sekali untuk berolahraga di tempat yang layak sehingga kontan langsung saya blokir nomor dia.

Hidup dalam kota kecil yang sombong ini sungguh-sungguh memerlukan area untuk revitaliasi oksigen ke dalam tubuh untuk kemudian mengisi otak setelah padat merayap berjalan di sepanjang lingkar arterinya.

Mode transportasi umum memang juga sangat perlu, terus terang. Tapi yang lebih penting ialah membangun ruang terbuka hijau publik bersarana olahraga sehingga anak-anak dan orang dewasa hingga lansia tidak jogging di pinggir jalan raya karena itu sungguh berbahaya.

Untuk mempertahankan tema liputan ini, saya sampai memohon kepada redaktur agar pemimpin umum perusahaan tidak membebani tugas politik meski dalam politik, saya juga pernah menanyakan kepada calon walikota soal keseriusan mereka memberangus citra kota kecil yang sombong.

Kala itu pimpinan umum perusahaan tidak setuju karena jurnalis lapangan hanya saya, sehingga ia tetap memintaku untuk bekerja ekstra dalam urusan politik.

“Tolonglah mas, nanti fokus saya pecah dan tema ini tidak akan pernah kembali saya jalani,” kata saya.

“Ya bagaimana Pinkan, ini perintah, lagian kamu kan dapet uang tambahan dari tugas itu,” jawab Primadi, redaktur majalah sekaligus konten kreator karena media saya juga sudah merambah ke media sosial mengikuti trend perkembangan zaman.

“Ya tapi mas,” perkataan saya ia potong seketika.

“Enggak usah pake tapi-tapi. Kamu ini begok, kamu kan bisa juga sambil lalu bertanya kepada calon walikota itu tentang visi misi mereka menyediakan ruang terbuka hijau di kota kecil yang sombong ini,” kata mas Primadi, ya mas.

“Oke kalau begitu, tararengkyu mas Primadi, benar-benar ide cemerlang dan enggak salah mas jadi redaktur, salam buat pimpinan perusahaan jangan lupa transfer tiap hari tuh uang tambahan agar saya bisa lugas dalam liputan,” kataku ngeloyor pergi karena sudah selepas Ashar meski sebenarnya tidak ada jam pulang pasti di kantor ini. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *